Dari Prasasti Mula Manurung yang ditemukan di
Kediri pada tahun 1975 dan ber-angka tahun 1177 Saka (1255 Masehi)
diperoleh informasi bahwa NARARYYA KIRANA, salah satu dari anak Raja
Sminingrat (Wisnu Wardhana) dari Kerajaan Singosari, dikukuhkan sebagai
Adipati (raja kecil) di LAMAJANG(Lumajang). Pada tahun 1255 Masehi,
tahun yang merujuk pada pengangkatan NARARYYA KIRANA sebagai Adipati di
Lumajang inilah yang kemudian dijadikan sebagai sebagai dasar penetapan
Hari Jadi Lumajang (HARJALU).
Dalam Buku Pararaton dan KIDUNG HARSYA WIJAYA
disebutkan bahwa para pengikut Raden Wijaya atau Kertarajasa dalam
mendirikan Majapahit, semuanya diangkat sebagai Pejabat Tinggi Kerajaan.
Di antaranya Arya Wiraraja diangkat Maha Wiradikara dan ditempatkan di
Lumajang, dan putranya yaitu Pu Tambi atau Nambi diangkat sebagai Rakyan
Mapatih.
Pengangkatan Nambi sebagai Mapatih inilah yang
kemudian memicu terjadinya pemberontakan di Majapahit. Apalagi dengan
munculnya Mahapati(Ramapati) seorang yang cerdas, ambisius dan amat
licik. Dengan kepandaiannya berbicara, Mahapati berhasil mempengaruhi
Raja. Setelah berhasil menyingkirkan Ranggalawe, Kebo Anabrang, Lembu
Suro, dan Gajah Biru, target berikutnya adalah Nambi.
Nambi yang mengetahui akan maksud jahat itu
merasa lebih baik menyingkir dari Majapahit. Kebetulan memang ada
alasan, yaitu ayahnya(Arya Wiraraja) sedang sakit, maka Nambi minta izin
kepada Raja untuk pulang ke Lumajang. Setelah Wiraraja meninggal pada
tahun 1317 Masehi, Nambi tidak mau kembali ke Majapahit, bahkan
membangun Beteng di Pajarakan. Pada 1316, Pajarakan diserbu pasukan
Majapahit. Lumajang diduduki dan Nambi serta keluarganya dibunuh.
Pupuh 22 lontar NAGARA KERTAGAMA yang ditulis
oleh Prapanca menguraikan tentang perjalanan Raja Hayam Wuruk ke
Lumajang. Selain NAGARA KERTAGAMA, informasi tentang Lumajang diperoleh
dari Buku Babad. Dalam beberapa buku babad terdapat nama-nama penguasa
Lumajang, yaitu WANGSENGRANA, PUTUT LAWA, MENAK KUNCARA(MENAK KONCAR)
dan TUMENGGUNG KERTANEGARA. Oleh karena kemunculan tokoh-tokoh itu tidak
disukung adanya bukti-bukti yang berupa bangunan kuno, keramik kuno,
ataupun prasasti, maka nama-nama seperti MENAK KONCAR hanyalah tokoh
dongeng belaka.
Di tepi Alun-alun Lumajang sebelah utara
terdapat bangunan mirip candi, berlubang tembus, terdapat CANDRA
SENGKALA yang berbunyi "TRUSING NGASTA MUKA PRAJA" (TRUS=9, NGASTA=2,
MUKA=9, PRAJA=1). Bangunan ini merupakan tetenger atau penanda,
ditujukan untuk mengenang peristiwa bersejarah, yaitu pada tahun 1929.
Lumajang dinaikkan statusnya menjadi REGENTSCAH otonom per 1 Januari
1929 sesuai Statblat Nomor 319, 9 Agustus 1928. Regentnya RT KERTO
ADIREJO, eks Patih Afdelling Lumajang (sebelumnya Lumajang masuk wilayah
administratif Kepatihan dari Afdelling Regentstaschap atau Pemerintah
Kabupaten Probolinggo).
Pada masa perjuangan merebut dan
mempertahankan kemerdekaan tahun 1942-1949, Lumajang dijadikan sebagai
basis perjuangan TNI dengan dukungan rakyat.
Nama-nama seperti KAPTEN KYAI ILYAS, SUWANDAK,
SUKERTIYO, dan lain-lainnya, baik yang gugur maupun tidak, yang dikenal
atau tak dikenal, adalah para kusuma bangsa yang dengan meneruskan
perjuangan para pahlawan kusuma bangsa itu dengan bekerja secara tulus,
menjauhkan kepentingan pribadi, jujur, amanah, dan bersedia berkorban
demi kemajuan Lumajang Tercinta.
Mengingat keberadaan Negara Lamajang sudah
cukup meyakinkan bahwa 1255M itu Lamajang sudah merupakan sebuah negara
berpenduduk, mempunyai wilayah, mempunyai raja (pemimpin) dan
pemerintahan yang teratur, maka ditetapkanlah tanggal 15 Desember 1255 M
sebagai hari jadi Lumajang yang dituangkan dalam Keputusan Bupati
Kepala Derah Tingkat II Lumajang Nomor 414 Tahun 1990 tanggal 20 Oktober
1990
Sejak tahun 1928 Pemerintahan Belanda
menyerahkan segala urusan segala pemerintahan kepada Bupati Lumajang
pertama KRT Kertodirejo. Yang ditandai dengan monumen / tugu yang
terletak di depan pintu gerbang Alun-alun sebelah utara.